Sastra


Gadis Manis di Teras Sekolah
Gadis manis di teras sekolah
Bertingkah amat lincah
Kata, tawa, terpecah-pecah
Ulah ramah tamah

Gadis manis di teras sekolah
Ria hati ceria wajah
Daku memandangmu kian tak betah
Ah…!
Mengapa Nona
Daku salah tingkah?
sudut desa paninggaran, 2008

Tuginem Pemetik Kembang Melati
Ginem…..
Bulu alis matamu itu, lentik
Penampilanmu, lembut anggun
Kata ramahmu, lugu
Sungguh kau asli gadis dusun
Yang terselip di kaki gunung paninggaran ini

Ginem….
Duh cantik nian kau!
Melati-melati itupun memujamu
Mereka tak segan menyambutmu datang kemari
Meski akhirnya kaupetik dari tangkainya nanti
Duh, Ginem…!
Sumpah mampus
Akupun ingin jadi melati-melati itu
Memori
Membuka halaman akhir memori itu
Kuingat lagi kamu,
Ning !

sudut desa paninggaran, 2008

TIRAI
Serahut wajah
Bikin hati resah gelisah

Mata berbalas kejap
Bibir berbalas senyum
Namun, ah…..
Gapai
Tak pernah sampai !

KECEWA
Mengapa sampai kautikam
Senandung jantung
Merindukan peluk, Kasih?

Adakah hatimu luruh
Mendengarku mengaduh?

Mengapa sampai kautikam
Senandung jantung
Merindukan cinta, Sayang

Adakah hatimu tega
Melihatku kecewa?
Ah…..!

A S A
Menjalin bayang fatamorgana
Bersesanding denganmu
Mungkinkah itu?

Resah

Ada yang tertinggal di kamarmu
Malam itu
Sebagian hati
Yang tak mampu kubohongi
Cah ayu!

Sulit

Tak ada kata yang bisa kuucapkan
Tak ada kalimat yang bisa kutuliskan
Tak ada lukisan yang bisa kugambarkan
Begitu indah dan membanggakan
Sejuta kenangan yang kini kubawa pulang
Darimu, hai gadis pujaan!

Surat

Lewatmu
Sampaikan salam rinduku
Pada Kekasih

Rindu
Sih!
Di rumah ini
Kutunggu sapa ramahmu

Perjalanan

Kita dibawa laju bis
Gadis
Kau tersenyum manis

Berjam-jam kita tak diam
Dengan tajam
Matamu menukikku dalam

Ah…!
Siapa takkan betah
Menyimak ucap katamu
Bersitingkah ramah?

Perpisahan

Kapan kita kan saling bersua lagi, dara?

Cinta Hitam
(bagi Ning)

Memang akulah yang salah, Ning
Gelas bening yang engkau persiapkan untukku
Tanpa sadar kuremuk pecahkan
Di hadapan ibumu
Sore itu

Padahal
Taukah kau
Sesal menyelimut hati
Kurasakan sampai kini?

Ning….
Sesungguhnya bila pecahan gelas itu dapat kukumpulkan lagi
Dan ada kesediaan tanganmu untuk menerimanya kembali
Ingin kuberikan gelas utuh itu kepadamu
Maukah kamu?

Sudut desa Paninggaran, 2008

ALIS MATAMU ITU
(bagi ERTE)

Alis matamu itu, duh !
Membuat hatiku luruh

Alis matamu itu, duh!
Membuatku tersimpuh
Sungguh!

Sudut desa Paninggaran, 2008

Pada Tahajudmu

Pada tahajudmu tolong katakan pada Tuhan
Kawanmu aku sungguh ingin kembali
Kembali pada niatan awal menjadi hamba biasa
Itu saja

Sajakmu
Tuturmu misteri
Sajakmu penuh teka-teki
Aku terus mencari

Jangan Doakan Jelek
Jangan doakan jelek untukku
Aku tak pernah bercita-cita menjadi pribadi jelek

Kau Boleh Menangis
Kau boleh saja menangis sepuasmu sekarang
Menyelesaikan gelisah
Resah yang membelenggu

*) Sukarni: Guru Bahasa dan Sastra MAN Yogyakarta III
Jalan Magelang KM.4 Mlati, Sleman, Yogyakarta

lombaIni soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

Meski sudah menjadi soal klasik, fenomena ini tetap menarik diperbincangkan. Yang pertama, jelas atmosfer pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Sebagai “agen perubahan dan peradaban”, sekolah mestinya bisa dimanfaatkan sebagai ruang dan media yang strategis untuk mengakarkan sekaligus menguatkan nilai-nilai moral, religi, dan budaya. Namun, secara jujur harus diakui, sekolah-sekolah di negeri kita ini seringkali hanya tampak gedungnya saja yang megah, tetapi kualitas pembelajarannya “hancur” dan babak belur. Lebih-lebih pembelajaran apresiasi sastra. Para siswa tidak diajak untuk mengapresiasi (baca: memahami dan menikmati) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.

Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Namun, bagaimana mungkin pelajar kita mampu menikmati teks-teks sastra kalau mereka hanya sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan dan hasil karyanya serta sekadar membaca sinopsisnya saja?

Buruknya mutu pembelajaran apresiasi sastra di sekolah juga tak lepas dari minimnya guru sastra yang memiliki “talenta” dan minat serius terhadap sastra. Apalagi, sastra hanya merupakan mata pelajaran yang “dinunutkan” pada pelajaran bahasa. Lantaran statusnya yang hanya sekadar “nunut”, tidak mengherankan jika apresiasi sastra hanya disajikan sambil lalu. Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Menyajikan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberi contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra. Seringkali terjadi, materi sastra yang dianggap sulit lebih nyaman untuk tidak disajikan alias dihindari. (Gitu aja kok repot! 😀 )

Jika pembelajaran sastra bisa mandiri, beban berat pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan, sebab lewat pembelajaran sastra itu pengetahuan budaya, cipta dan rasa, serta watak siswa akan lebih bisa berkembang. Dengan tutur lain, “otonomi” pembelajaran sastra akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.

Yang kedua, “kemauan politik” pengambil kebijakan. Hal ini penting dipersoalkan, sebab peningkatan mutu pelayanan publik terhadap masalah pendidikan berkelindan dengan politik kebijakan yang diluncurkan oleh orang-orang elite yang tengah berada dalam lingkaran kekuasaan. Kalau kepedulian mereka terhadap apresiasi sastra nihil jelas anak-anak negeri ini tidak akan pernah bersentuhan langsung dengan teks-teks sastra yang bermutu. Alih-alih peduli terhadap apresiasi sastra, jika perlu menerapkan politik iliterasi dengan memusnahkan buku-buku yang dianggap tidak segaris dengan kebijakan penguasa. Yang tidak kalah menyedihkan, nasib buruk tak jarang harus dialami oleh para sastrawan yang beriktikad baik untuk membangun sebuah peradaban yang lebih bermoral dan berbudaya. Berkali-kali Mochtar Lubis diseret ke penjara. Demikian juga teater koma sering kena cekal alias tak boleh pentas. Bahkan, WS Rendra pun juga mengalami nasib serupa. Sungguh! Kita tak habis pikir, kenapa masih saja terjadi pengekangan terhadap kreativitas sastrawan dalam menggeluti dunianya.

Kondisi semacam itu diperparah dengan aksi agresif dan vandalistis oleh kelompok masyarakat tertentu yang mencurigai kaum sastrawan sebagai penyebar benih-benih “kesesatan” melalui teks sastra yang diciptakannya. Ingat kelompok DDII Jawa Barat yang baru saja “menzalimi” puisi “Malaikat” karya Saeful Badar.

Yang ketiga, minimnya buku-buku sastra yang berkualitas di perpustakaan sekolah. Kalau toh ada, pada umumnya buku-buku semacam itu nyaris tak tersentuh. Buku-buku sastra dibiarkan terpuruk, bahkan mungkin debunya lebih tebal ketimbang bukunya. Fenomena ini menandakan betapa sastra di negeri ini hanya sekadar menjadi produk budaya yang terpajang di sebuah “etalase” yang miskin peminat dan pencinta. Olalala! (Tentang peranan perpustakaan, khususnya yang berkaitan dengan buku-buku sastra bisa menjadi postingan tersendiri, hehehehe 😀 lantaran banyaknya persoalan yang rumit dan kompleks tentang kebijakan literasi penguasa).

Kembali ke “retorika” yang menjadi judul postingan ini. Tampaknya perlu ada revitalisasi serius terhadap pembelajaran sastra di negeri ini. Pertama, jadikan materi apresiasi sastra di sekolah sebagai mata pelajaran mandiri, terpisah dari mata pelajaran bahasa. Fakta menunjukkan bahwa status “nunut” yang selama ini disandang oleh sastra hanya menjadi materi yang tersisihkan. Kondisi itu diperparah dengan minimnya “talenta” guru bahasa terhadap sastra. Tanpa semangat “otonomi”, tampaknya nasib sastra dalam dunia pendidikan di negeri ini akan makin tersaruk-saruk.

Kedua, pemberdayaan guru sastra. Kalau “otonomi” sastra sudah ada, perlu diikuti dengan pemetaan terhadap guru bahasa dan sastra. Mereka yang didaulat untuk menjadi guru sastra harus benar-benar memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menyajikan pembelajaran apresiasi sastra dengan baik. Tugas mereka tidak harus melahirkan para sastrawan, tetapi cukup membekali apresiasi sastra kepada siswa didik melalui proses pembelajaran yang menarik, memikat, dan menyenangkan.

Ketiga, harus ada “kemauan politik” penguasa untuk menghidupkan atmosfer sastra dengan memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kaum sastrawan untuk menciptakan karya-karya unggulan, liar, dan mencengangkan agar menjadi karya agung dan “masterpiece”. Kalau “politik iliterasi” terus diberlakukan, hal itu tak ubahnya seperti teror yang menindas dan menzalimi kaum sastrawan. Dengan banyaknya teks sastra yang agung dan “masterpiece”, hal itu akan membangkitkan animo dan minat pelajar kita untuk menggemari dan mengakrabi karya sastra.

Keempat, jadikan perpustakaan sekolah sebagai “jantung” ilmu pengetahuan dan peradaban. Sediakan dana yang cukup untuk membeli buku-buku bermutu bagus, bukan buku yang tergolong “sampah”. Melalui perpustakaan yang memadai, para pelajar bisa bersentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu sehingga mampu membangun kepribadian yang mandiri, berwawasan, beretika, bermoral, beradab, berbudaya, memiliki kearifan, dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya.

Yang tak kalah penting, para pelajar kita diwajibkan untuk membaca buku-buku sastra melalui proses pendalaman dan apresiasi berdasarkan bekal yang mereka peroleh dari sang guru. Wajibkan mereka untuk mengumpulkan sinopsis buku sastra dan tafsiran bebas terhadap nilai etika dan estetika yang terkandung di dalamnya pada setiap akhir tahun. Hasil sinopsis dan apresiasi siswa didik terhadap buku-buku sastra perlu diabadikan dalam dokumentasi portofolio sebagai bukti otentik terhadap tingkat apresiasi sastra mereka dari tahun ke tahun.

Dengan cara demikian, para pelajar kita tidak lagi mengidap penyakit “rabun” sastra dan pada gilirannya mereka akan terangsang untuk menulis, menulis, dan menulis. Nah, bagaimana? ***

Beberapa waktu yang lalu, MGMP Bahasa Indonesia SMP Kab. Kendal, mendapatkan surat tembusan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jateng. Surat bertanggal 27 Maret 2009, Nomor: 437/1321 dengan jumlah lampiran satu berkas tentang Lomba Menulis Skenario Film Remaja yang ditandatangani Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jateng ini ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Jawa Tengah dengan tembusan yang ditujukan kepada: (1) Sekretaris Dinbudpar Prov. Jateng; (2) Kepala Bidang NBSF Dinbudpar Prov. Jateng, (3) Kepala Dinas Pendidikan Kab./Kota se-Jawa Tengah; (4) Kepala Dinbudpar Kab./Kota se-Jawa Tengah; (5) MGMP Bahasa Indonesia SMP dan SMA se-Jawa Tengah; dan (6) Pertinggal.

surat1surat2surat3

Berikut petikan surat selengkapnya beserta lampirannya.

Kepada
Yth. Bupati/Walikota
Se-Jawa Tengah

Kami beritahukan dengan hormat, dalam rangka pelaksanaan Program Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, kami akan menyelenggarakan Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah. Lomba bersifat umum, siapa pun boleh mengikutinya. Adapun pelaksanaan lomba dimulai tanggal 1 April s.d. 25 Juli 2009.

Sehubungan dengan hal itu, dengan hormat kami minta bantuan Bapak/Ibu berkenan menyebarluaskan informasi tentang lomba ini dan sekaligus menghimbau masyarakat di wilayah kerja Bapak/Ibu untuk mengikutinya.

Atas perhatian, bantuan, dan kerja sama yang baik, kami mengucapkan terima kasih.

Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata,

Ttd.

Ir. SATRIYO HIDAYAT
Pembina Tingkat I
NIP 19601214 198703 1 005

Tembusan Yth.
1.      Sekretaris Dinbudpar Prov. Jateng
2.      Kepala Bidang NBSF Dinbudpar Prov. Jateng
3.      Kepala Dinas Pendidikan Kab./Kota se-Jawa Tengah
4.      Kepala Dinbudpar Kab./Kota se-Jawa Tengah
5.      MGMP Bahasa Indonesia SMP dan SMA se-Jawa Tengah;
6.      Pertinggal

Lampiran:

LOMBA MENULIS SKENARIO FILM REMAJA/PELAJAR

TINGKAT JAWA TENGAH

TAHUN 2009

I.   Pokok Pikiran

1)  Penulisan skenario film merupakan salah satu media pelestarian dan pengembangan budaya;

2)  Penulisan skenario film dapat dijadikan sebagai salah satu media dan ahana mengkomunikasikan ajaran budi pekerti;

3)  Penulisan skenario film dapat dijadikan sebagai ajang peningkatan kreativitas, sekaligus pengembangan bahasa dan sastra.

II.  Dasar Kegiatan

1)  Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor: 6 Tahun 2008 tentang Organisasi Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah;

2)  Program Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009;

3)  DPA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Nomor: 906/DPA-2008.

III. Bentuk Kegiatan

Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah Tahun 2009.

IV. Tujuan
1)  Meningkatkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia;
2)  Meningkatkan dan menumbuhkembangkan kreativitas remaja/pelajar dan masyarakat terhadap seni film;
3)  Menyediakan ajang kompetisi dan apresiasi bagi remaja/pelajar terhadap seni film.

V.  Pelaksanaan

Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah Tahun 2009 dilaksanakan mulai tanggal 1 April 2009 sampai dengan tanggal 25 Juli 2009.

VI.  Peserta

Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah Tahun 2009 bersifat terbuka untuk umum, dapat diikuti oleh siapa pun yang bertempat tinggal di Jawa Tengah (dibuktikan dengan copy identitas, KTP/Kartu Pelajar/OSIS).

VII. Tema
Cerita untuk Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah Tahun 2009 bertema bebas, sejauh tidak mengarah pada persoalan SARA dan pornografi.

VIII.  Persyaratan Umum dan Administrasi
1)      Naskah harus asli karya sendiri, bukan karya terjemahan, saduran, atau gubahan.
2)      Naskah belum pernah dipublikasikan.
3)      Materi cerita berkisar pada permasalahan remaja/pelajar.
4)      Naskah di-copy rangkap 4 (empat), dikirim ke:

Panitia Lomba Menulis Skenario Film Remaja/Pelajar Tingkat Jawa Tengah Tahun 2009

d.a. Seksi Perfilman, Bidang NBSF

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jawa Tengah

Jl. Pemuda 136 Telp. 024-3546001 Semarang, paling lambat tanggal 25 Juli 2009 (stempel pos).

IX.  Ketentuan Teknis
1)   Naskah karangan ditulis dalam bahasa Indonesia yang santun.
2)   Naskah karangan diketik menggunakan kertas HVS ukuran kwarto berjarak 2 (dua) spasi.
3)   Margin kiri 4 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3 cm.
4)   Keterangan dan identitas peserta ditulis pada kertas/halaman tersendiri.
5)   Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 (satu) naskah/judul.
6)   Prediksi durasi antara 15 s.d. 20 menit.

X.   Kriteria Penilaian
Aspek yang dinilai:
1)      Aktualisasi gagasan/ide
2)      Orisinalitas karya/cerita
3)      Kesesuaian antara tema dan isi karangan
4)      Sinematografi (angel, effect, suasana, dsb.)
5)      Kesantunan penggunaan bahasa

XI.    Tim Penilai
Tim Penilai adalah praktisi film, akademisi, dan praktisi media.

XII.   Kejuaraan dan Penghargaan

Akan ditentukan kejuaraan dan penghargaan sebagai berikut:
1)     Juara I memperoleh penghargaan berupa piagam, tropi, dan uang pembinaan sebesar Rp4.000.000,00
2)     Juara II memperoleh penghargaan berupa piagam, tropi, dan uang pembinaan sebesar Rp3.500.000,00
3)     Juara III memperoleh penghargaan berupa piagam, tropi, dan uang pembinaan sebesar Rp3.000.000,00
4)     Sepuluh (10) naskah terpilih, masing-masing memperoleh penghargaan berupa piagam, tropi, dan uang pembinaan sebesar Rp2.000.000,00

5)     Naskah Juara dan Naskah Terpilih akan diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah.

XIII.  Lain-lain
1)      Pengumuman kejuaraan/pemenang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 melalui surat kepada Bupati/Walikota, Instansi/Dinas terkait, dan media massa di Jawa Tengah.
2)      Masing-masing pemenang akan dipanggil secara resmi untuk menerima hadiah dan penghargaan pada bulan Agustus 2009.
3)      Hal-hal lain yang belum tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan dan Ketentuan Teknis ini akan diatur/ditentukan kemudian sesuai dengan keperluan/kebutuhan.

Semarang,   Maret 2009

KEPALA DINAS
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

Ttd.

Ir. SATRIYO HIDAYAT
Pembina Tingkat I
NIP 19601214 198703 1 005

Dalam rangka memeringati hari ulang tahunnya yang ke-97, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 bekerjasama dengan Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam), mengundang masyarakat umum, terutama para pencinta sastra, untuk mengikuti “Lomba Penulisan Esai” dan “Lomba Penulisan Cerita Pendek (Cerpen).”

Lomba Penulisan Esai
Topik : “Asuransi dan Saya”

Persyaratan Peserta :

  1. Para blogger di seluruh Indonesia;
  2. Memiliki blog pribadi selama minimal 3 bulan per Maret 2009;
  3. Melampirkan daftar riwayat hidup, (termasuk alamat lengkap, nomor telepon, dan e-mail).
  4. Lomba ini tertutup bagi pegawai tetap (organik) AJB Bumiputera 1912.

Pelaksanaan Lomba :

  1. Esai ditulis di masing-masing blog pada periode April – Juni 2009.
  2. Alamat blog (URL) yang memuat artikel tersebut dikirimkan via email ke pihak panitia (Bumiputera): komunikasi@bumiputera.com.
  3. Tulisan tersebut akan diunduh oleh Pantiia, dan kemudian akan dilakukan penilaian oleh Dewan Juri.

Ketentuan Lomba :

  1. Esai harus memiliki nilai manfaat bagi pengembangan pengetahuan masyarakat, khususnya pengetahuan tentang asuransi;
  2. Setiap karya wajib menyebutkan kata “AJB Bumiputera 1912″ sedikitnya satu kali.
  3. Bentuk tulisan berupa esai dengan gaya bahasa yang cair, kreatif, dan tidak dalam bentuk makalah ilmiah.
  4. Esai harus asli, bukan saduran atau terjemahan;
  5. Esai belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di media apapun;
  6. Tulisan tidak mengandung SARA.
  7. Esai yang menjadi pemenang akan dimuat di majalah “bumiputeranews” (hadiah sudah termasuk honorarium pemuatan);
  8. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat.
  9. Pengumuman pemenang lomba penulisan akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 di website AJB Bumiputera 1912 di http://www.bumiputera.com/ dan website panitia di http://www.bumiputeramenulis.com/
  10. Penyerahan hadiah dilaksanakan pada akhir Agustus 2009, yang tempat dan waktunya akan diberitahukan kepada para pemenang.

Tata Cara Pengiriman Esai :

1. Peserta lomba dapat menulis lebih dari satu esai;
2. Panjang tulisan tidak dilakukan pembatasan.

***

Lomba Penulisan Cerpen:
Topik : “Sosial, Human Interest”
Persyaratan Peserta :

  1. Masyarakat umum, warga negara Indonesia.
  2. Peserta boleh menggunakan nama samaran (namun nama asli tetap dicantumkan di daftar riwayat hidup).
  3. Melampirkan daftar riwayat hidup, (termasuk alamat lengkap, nomor telepon, dan e-mail).
  4. Lomba ini tertutup bagi pegawai tetap (organik) AJB Bumiputera 1912.

Ketentuan Lomba :

  1. Cerpen harus memiliki nilai manfaat bagi pengembangan pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang asuransi;
  2. Cerpen tidak mengandung SARA.
  3. Bentuk tulisan dengan gaya bahasa yang cair, kreatif, dan tidak dalam bentuk makalah ilmiah.
  4. Setiap karya wajib menyebutkan kata “asuransi” dan “AJB Bumiputera 1912″ sedikitnya satu kali.
  5. Panjang cerpen maksimum 15.000 karakter, disajikan dalam teks Times New Romans, 1,5 spasi, dengan font 12.
  6. Cerpen harus asli, bukan saduran atau terjemahan;
  7. Cerpen belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di media apapun;
  8. Cerpen ditunggu paling lambat tanggal 30 Juni 2009 pukul 24:00 (untuk email) dan berdasarkan cap pos untuk pengiriman melalui pos.
  9. Cerpen yang menjadi pemenang akan dimuat di majalah “bumiputeranews” (hadiah sudah termasuk honorarium pemuatan);
  10. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat.
  11. Pengumuman pemenang lomba penulisan akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 di website AJB Bumiputera 1912 di http://www.bumiputera.com/ dan website panitia di http://www.bumiputeramenulis.com/
  12. Penyerahan hadiah dilaksanakan pada akhir Agustus 2009, yang tempat dan waktunya akan diberitahukan kepada para pemenang.

Tata Cara Pengiriman Cerpen :

  1. Peserta lomba dapat menulis lebih dari satu cerpen;
  2. Cerpen dikirim melalui email ke komunikasi@bumiputera.com atau bila dalam bentuk hardcopy melalui pos ke alamat: Departemen Komunikasi Perusahaan, AJB Bumiputera 1912, Wisma Bumiputera Lantai 19, Jl. Jend. Sudirman Kav 75, Jakarta 12910

———–
Informasi selengkapnya, silakan meluncur ke sini! Ayo, buruan daftar! ***

Oleh: Sawali

Gaung kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajahi dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan. Mereka tidak diajak untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.

Pengajaran apresiasi puisi pun dinilai tak luput dari situasi semacam itu. Pengajaran apresiasi puisi baru sebatas menyajikan kulitnya saja; seperti pengertian tentang diksi, rima, pencitraan, tema, atau pesan moral; belum menukik pada upaya untuk menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Tidak heran kalau pengajaran apresiasi puisi belum banyak berkiprah dalam membentuk watak dan kepribadian siswa. Dari tahun ke tahun, pengajaran apresiasi puisi tak lebih dari sebuah rutinitas pengajaran untuk memenuhi tuntutan kurikulum belaka; belum memberikan inspirasi kepada siswa didik untuk menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki sikap responsif terhadap nilai-nilai moral dan keluhuran budi.

Salah satu persoalan klasik yang sering dituding menjadi penyebab kurang menariknya pengajaran apresiasi puisi adalah pemilihan bahan ajar. Bahan ajar sekadar diambil dari buku teks yang belum tentu cocok dengan tingkat kemampuan berbahasa, perkembangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa didik. Dalam kondisi seperti ini, guru bukanlah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan apresiasi puisi di sekolah. Selain, terbatasnya ketersediaan buku sumber di perpustakaan sekolah dan sistem penilaian yang kurang sahih, kurikulum juga dianggap sebagai faktor yang tak dapat diabaikan. Untuk itu, perlu ada upaya serius untuk meniyasati agar kurikulum dan apresiasi puisi bisa ”dikawinkan” ke dalam sebuah ”rumah” pengajaran apresiasi puisi yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Dalam konteks demikian, ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam memilih teks puisi sebagai bahan ajar, yakni pendekatan berbasis sastra dan pendekatan berbasis kurikulum. Kedua pendekatan ini tidak harus digunakan secara terpisah, tetapi bisa diintegasikan menjadi sebuah pendekatan pemilihan bahan ajar yang mampu mengakomodasi antara kepentingan kurikulum dan apresiasi sastra.

Pendekatan Berbasis Sastra
Meminjam konsep Rahmanto (1988), setidaknya ada tiga aspek penting yang tak boleh dilupakan dalam memilih bahan ajar puisi, yakni aspek bahasa, kematangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa.

1. Aspek Bahasa
Bahasa puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Mengingat sifat bahasa puisi yang semacam itu, akan terbuka peluang yang begitu luas dan terbuka kepada siswa untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan (multitafsir). Meskipun demikian, jangan sampai sifat puisi yang multitafsir memberikan beban bagi siswa dalam menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Justru perlu dimaknai sebagai nilai tambah yang akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempertajam daya apresiasi sekaligus ”menghidupkan” naluri keindahannya.

Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam menafsirkan makna sebuah puisi, siswa perlu dibekali dengan pemahaman, bagaimana penafsiran itu mesti dilakukan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argumentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih mendalam. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan betul aspek penggunaan bahasa yang digunakan oleh sang penyair dalam teks puisi untuk menghindari terjadinya tafsir yang jauh menyimpang dari substansi makna yang terkandung dalam teks. Dengan kata lain, guru perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih teks puisi yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.

2. Aspek Kematangan Jiwa
Aspek kematangan jiwa siswa perlu dipertimbangkan betul ketika seorang guru menentukan teks puisi yang hendak dijadikan sebagai bahan ajar karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan siswa didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan jiwa juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi.

Ada beberapa tahap perkembangan jiwa siswa yang perlu dijadikan sebagai rujukan guru dalam menentukan bahan ajar puisi, di antaranya: (1) tahap pengkhayal (8-9 tahun): pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan; (2) tahap romantik (10-12 tahun): pada tahap ini, anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mulai mengarah pada realitas, meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Selain itu, anak juga telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, atau kejahatan; (3) tahap realistik (13-16 tahun): pada tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas, atau apa yang benar-benar terjadi; mereka mulai terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata; (4) tahap generalisasi (16 tahun -…): pada tahap ini, anak sudah berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis sebuah fenomena. Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran falsafati untuk menemukan keputusan-keputusan moral.

Dalam konteks demikian, teks puisi yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan tahap psikologis siswa yang berada dalam satu kelas. Memang, tidak semua siswa dalam satu kelas memiliki tahapan psikologis yang sama, tetapi setidaknya guru bisa memilih teks puisi yang secara psikologis memiliki daya tarik terhadap minat siswa untuk mengapresiasi puisi.

3. Aspek Latar Belakang Budaya Siswa
Dalam sejarah perkembangan sastra, kita mengenal teks puisi yang amat beragam nada dan suasana kulturalnya. Hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang kehidupan dan kreativitas sang penyair dalam melahirkan teks-teks puisinya. Dalam situasi semacam ini, guru perlu mempertimbangkan latar belakang budaya siswa dalam memilih teks puisi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pengaburan tafsir teks puisi dan penggambaran suasana teks di luar batas jangkauan imajinasi siswa.

Coba kita perhatikan beberapa kutipan puisi berikut ini!
(1) SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
(”Surat dari Ibu” karya Asrul Sani)

(2) DOA SI KECIL
Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga

Tuhan yang Kaya
Berikan ayah pipa yang indah
Amin.
(“Doa si Kecil” karya Taufiq Ismail)

(3) DI MEJA MAKAN

Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa

Dari aspek bahasa, tahapan psikologis, dan latar belakang budaya siswa, ”Ibu”, ”Doa”, atau ”Tomat” merupakan konsep yang sudah sangat akrab dengan dunia siswa. Muatan isi dalam kutipan puisi ”Surat dari Ibu” kiranya cukup jelas, yaitu nasihat seorang ibu kepada anaknya (melalui surat) yang pergi mengembara yang disajikan dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih. “Doa si Kecil” memberikan imaji seorang anak yang berdoa kepada Tuhan dalam bahasa yang sederhana dan dalam suasana khidmat, sebagaimana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa. Sedangkan, ”Di Meja Makan”, memberikan gambaran, bagaimana rasanya jika sambal yang pedas itu mengenai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam penyesalan yang mendalam.

Pendekatan Berbasis Kurikulum
Sebelum memilih teks puisi sebagai bahan ajar, guru perlu melakukan analisis standar kompetensi dan kompetensi yang terdapat dalam standar isi kurikulum. Ini artinya, teks puisi yang dipilih hendaknya benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu atau merujuk pada standar kompetensi.

Dalam Standar Isi (SI) KTSP disebutkan bahwa standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Berkaitan dengan pengajaran apresiasi sastra, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri. Sedangkan, guru diharapkan lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.

Berdasarkan standar kompetensi semacam itu, tujuan pengajaran apresiasi sastra, antara lain: (1) agar siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) agar siswa dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Beranjak dari konsep tersebut, alur pemilihan teks puisi sebagai bahan ajar dengan menggunakan pendekatan berbasis kurikulum dapat dilihat pada skema berikut ini.

Semangat dan “roh” KTSP yang memberikan kemandiran dan keleluasaan bagi guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar merupakan sebuah perubahan paradigma dalam dunia pendidikan kita yang diharapkan dapat memacu semangat dan motivasi guru dalam menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi pengembangan kompetensi siswa didik. Berkaitan dengan pemilihan teks puisi sebagai bahan ajar, guru juga diharapkan dapat “mengawinkan” antara tuntutan kurikulum dan apresiasi puisi sehingga kurikulum tidak lagi dianggap sebagai beban, tetapi justru perlu dimanfaatkan sebagai media yang akan mengantarkan siswa sebagai manusia yang berbudaya.

Catatan Penutup
HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Hal senada juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi.

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban negeri ini dinilai sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. ***

Rujukan:
Esten, Mursal. 1990. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Maman S. Mahayana. 2009. ”Sejumlah Masalah dalam Apresiasi Puisi” (http://mahayana-mahadewa.com/).
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta.: Gajah Mada University Press.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta: Angkasa raya
Sujiman, Panuti. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
—————————————————–
*) Disajikan dalam Pelatihan Teknik Pemilihan Bahan Ajar Puisi bagi Guru se-Jawa Tengah di Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada hari Minggu, 15 Maret 2009

diskusi sastraGAUNG kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajah dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan.

Mereka tidak diajak untuk mengapresiasi (baca: memahami dan menikmati) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.

Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia.

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.

Dalam konteks demikian, kedudukan sastra menjadi semakin penting. Bukan saja sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk dalam kurikulum pendidikan. Persoalannya ialah, kedudukan sastra dalam kurikulum kita dinilai masih dipandang dengan sebelah mata. Pelajaran sastra belum mandiri, belum memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Ia masih “nunut” dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia.

MENGAPA otonomi pengajaran apresiasi sastra menjadi penting dipersoalkan? Setidaknya ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru Bahasa Indonesia mampu menyajikan pengajaran apresiasi sastra dengan baik. Guru yang mahir mengajarkan bahasa belum tentu mampu tampil memikat saat mengajar sastra. Menyajikan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberikan contoh yang memikat dan sugestif di depan siswanya saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan “talenta” yang cukup tentang sastra. Dalam kondisi demikian, mana mungkin peserta didik mampu memiliki bekal apresiasi sastra yang memadai.

Kedua, guru sastra bisa lebih berkonsentrasi dan total “beraksi” dalam mengampu mata pelajaran, sehingga terangsang untuk terus meningkatkan profesionalismenya. Dengan adanya spesialisasi, maka guru bahasa yang minat dan talentanya lebih condong ke sastra dapat lebih mengaktualisasikan kemampuannya, sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran apresiasi sastra yang kondusif, menarik, variatif, interaktif, dan menyenangkan.

Ketiga, beban berat dunia pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan. Sebab, lewat pengajaran apresiasi sastra yang mandiri proses internalisasi nilai-nilai budaya, moral, watak dan kepribadian, serta cipta dan rasa akan lebih bisa berkembang. Dengan kata lain, otonomi pengajaran apresiasi sastra akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.

Sudah saatnya dunia pendidikan kita memosisikan sastra pada aras yang lebih “terhormat” dalam kurikulum. Perlu ada pemikiran matang dan serius untuk memisahkan pelajaran sastra dari pelajaran bahasa ke dalam kurikulum berbasis kompetensi yang akan datang. Sudah terlalu lama pendidikan kemanusiaan (termasuk sastra) di negeri ini dimarjinalkan dan mengalami “pembusukan”, sehingga gagal menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah bagaimana lembaga pencetak calon guru sastra mampu melahirkan lulusan yang benar-benar “siap”, bukan lulusan “karbitan” yang tampil gagap saat diterjunkan di lapangan.